a

Gobel Ajak Bangun Politik Berwawasan Budaya

Gobel Ajak Bangun Politik Berwawasan Budaya

JAKARTA (8 September): Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang), Rachmad Gobel mengajak para politisi dan partai-partai politik untuk membangun politik berwawasan budaya.

“Politik kebudayaan memiliki makna strategis sebagai landasan nilai-nilai dalam berbangsa dan bernegara, sekaligus memberikan dampak sosial ekonomi bagi masyarakat,” kata Gobel dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema  ‘Pentingnya Badan Budaya untuk Partai Politik’ di NasDem Tower, Jakarta, Rabu (7/9).

Selain Gobel, pembicara lainnya adalah Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, mantan Bupati Ponorogo, Jawa Timur, Suyoto, anggota DPR RI yang juga pegiat budaya Muhammad Farhan, dan Tatak dari Kampung Riwil Solo. Diskusi itu diadakan sebagai bagian dari prakarsa Partai NasDem menghidupkan kembali Badan Budaya Partai NasDem.

Dalam paparannya, Gobel menceritakan pengalamannya saat menjadi menteri perdagangan.

“Saat itu saya keliling ke pasar-pasar. Saya menemukan batik dengan harga murah, ternyata itu impor. Ini akan mematikan industri batik nasional dan pada saatnya Indonesia akan kehilangan identitasnya. Karena itu saya melarang impor batik,” tandasnya.

Menurut Gobel, di tahap pertama, impor batik itu akan membunuh pengrajin batik, lalu pada tahap berikutnya akan membunuh batik printing. Pada tahap selanjutnya, setelah seniman dan industri batik musnah maka Indonesia akan menjadi pengimpor penuh kain batik.

“Lalu generasi mendatang kita sudah tidak tahu lagi bahwa batik merupakan bagian dari budaya dan sejarah kita. Yang mereka tahu batik itu diimpor dari negara lain,” katanya.

Legislator NasDem dari Dapil Gorontalo itu mengatakan, Indonesia bukan hanya kaya dengan alamnya tapi juga kaya dengan warisan budaya. Karena itu, saat ia menjadi Ketua Kadin Indonesia, ia membuat roadmap industri berbasis budaya.

Indonesia memiliki industri berbasis kain seperti batik, songket, tenun, dan sulam. Selain itu, Indonesia juga memiliki handicraft berbahan kayu, rotan, logam, tanah, dan sebagainya. Industri berbasis budaya lainnya adalah kuliner dan herbal.

“Semuanya merupakan warisan budaya nenek moyang kita yang penuh filosofi, nilai-nilai, dan kreasi yang khas Indonesia,” imbuh Gobel.

Karena itu, katanya, saat menjadi Ketua Panitia SEA Games ia menampilkan pertunjukan dengan pakaian berbahan songket.

“Songket itu ada juga di Malaysia dan Thailand namun songket Indonesia memiliki corak tersendiri. Ini kekayaan kita,” ujarnya.

Gobel juga bercerita, pada 1997 saat Indonesia didera krisis ekonomi, ia mengadakan Panasonic Gobel Award (PGA) untuk industri televisi. Selain didorong lesunya industri televisi, saat itu industri televisi Indonesia didominasi telenovela dan Bollywood. Selain tentu saja dibanjiri produk Hollywood dan film-film Hongkong.

“Maka saya mengadakan Panasonic Gobel Award untuk memberikan apresiasi terhadap industri hiburan di dalam negeri. Hasilnya bagus. Bukan hanya menaikkan tarif pelaku industrinya tapi juga menumbuhkan industri hiburan nasional,” jelasnya

Saat ini, kata Gobel, ia sedang menyiapkan award untuk para master industri berbasis budaya seperti pembatik, pengukir, penyulam, penenun, dan pembuat berbagai handicraft.

“Saat saya ke Jepara, saya prihatin mendengar cerita mereka. Jumlah seniman ukir makin sedikit. Kita harus memberikan apresiasi kepada mereka. Di dunia internasional sudah menjadi praktik lazim untuk dunia handicraft dan semacamnya ada harga khusus untuk karya para master. Selama ini kita tak mengenal para master, hanya tahunya membeli produknya,” ujarnya.

Padahal, para master itu adalah aktor utamanya. Karena itu Gobel mendorong adanya apresiasi pada mereka. Hal itu bukan hanya sebagai promosi, namun juga apresiasi para seniman.

“Semua itu menunjukkan pada kita bahwa politik kebudayaan dan politik berwawasan kebudayaan merupakan hal yang sangat strategis. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang memiliki akar budaya yang dalam,” pungkas Gobel.

(*)

Add Comment