a

Masifkan Budidaya Kedelai Solusi Persoalan Tempe

Masifkan Budidaya Kedelai Solusi Persoalan Tempe

JAKARTA (14 Februari): Petani Indonesia diharapkan dapat menggalakkan budidaya kedelai menyusul harga tahu dan tempe yang mulai naik dan diprediksi bakal melonjak karena tingginya harga kedelai di pasar internasional.

Hal tersebut disampaikan kader NasDem yang telah menggeluti bidang pertanian sejak tahun 2005 hingga saat ini, H. Ayep Zaki dalam keterangannya, Senin (14/2).

“Lonjakan harga kedelai diantaranya terjadi akibat berkurangnya pasokan ke pasar dalam negeri. Pasokan kedelai di negara produsen berkurang lantaran volume produksinya sedang menurun. Sementara budidaya kedelai di dalam negeri masih sangat sedikit,” ungkap Anggota Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat MUI Pusat itu.

Menurut pria asal Sukabumi itu, ketergantungan Indonesia akan produk impor tak dapat terhindarkan lantaran produksi dalam negeri terus menurun dan tak bisa memenuhi permintaan masyarakat.

“Ini harus menjadi momentum bagi petani Indonesia untuk menggalakkan budidaya kedelai. Resiko sebagai negara pengimpor kedelai, Indonesia akan terus bergantung dengan negara pengekspor kedelai. Apabila terjadi perlambatan ekonomi di negara tersebut yang disebabkan berbagai hal, secara otomatis akan berdampak pula pada negara pengimpor,” kata Ayep Zaki dalam keterangannya, baru-baru ini.

Sebagai kader NasDem yang selalu memegang semangat gerakan perubahan itu Ayep Zaki menyatakan, urusan pangan sebaiknya semaksimal mungkin Indonesia harus mampu memproduksinya sendiri sehingga dapat mencapai swasembada pangan.

Lebih jauh Ayep Zaki menegaskan, saat ini petani kita belum banyak yang begitu tertarik melakukan budidaya kedelai akibat belum sepenuhnya mendapatkan edukasi dan kerap kesulitan menjual hasil taninya pasca panen. Akibatnya, Indonesia menjadi sangat tergantung dengan negara pengekspor dengan impor kedelai yang mencapai 80 persen lebih untuk kebutuhan nasional setiap tahunnya.

“Kebutuhan akan kedelai dari impor seharusnya bisa ditekan, bila budidaya kedelai mendapat dukungan dari semua pihak. Mulai dari off taker (penjamin), pemerintah, dunia perbankan hingga petani,” kata Ayep Zaki.

Pemilik Rumah Tempe Azaki yang memiliki kualitas ekspor itu menilai, sebenarnya potensi kedelai Indonesia sangat besar dan mampu meningkatkan kesejateraan petani. Bahkan pelaku ekonomi yang bergantung pada kedelai seperti produsen tahu dan tempe bisa disejahterakan asal dengan mekanisme dan program yang tepat.

“Kedelai tiga juta ton per tahun, kalau dikaliakan 10 ribu sama dengan 30 triliun rupiah. Devisa kita 30 triliun rupiah untuk membeli kedelai ke negara importir,” kata dia.

Berdasarkan data dan pengalaman yang sudah dilakukannya, Ayep Zaki memaparkan, uji coba langsung di lahan setelah panen padi, baik di musim tanam ke dua atau ke tiga, sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) budidaya kedelai bisa menghasilkan 1,7-1,8 ton per hektar. Dengan asumsi biaya per hektarnya berkisar delapan juta rupiah.

“Ini sudah saya lakukan di beberapa tempat. Jika rata-rata per hektar mencapai hasil 1,8 ton dan apabila harga per kilo 10 ribu rupiah maka hasilnya bisa mencapai 18 juta rupiah per hektar,” kata dia.

Nantinya hasil produksi petani tersebut masih akan dipilah untuk memisahkan kedelai berukuran besar, sedang dan kecil. Pemilahan tersebut bisa memakan hingga 15 persen hasil produksi. Tujuan pemilahan tersebut karena hanya kedelai berukuran besar saja yang bisa diterima pasar.

Saat ini Ayep Zaki sedang menjalin kerja sama dengan Kementerian Pertanian, Direktorat Akabi (Aneka Kacang dan Umbi) untuk program budidaya kedelai mandiri dengan sistem TOT seluas 25 ribu hektar di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan tidak menutup kemungkinan akan dilakukan juga di daerah lain.

Insya Allah bulan April nanti kami akan melakukan penanaman perdana. Di bawah pengawasan saya dan tim, budidaya kedelai mandiri ditargetkan mencapai 1,8 ton per hektarnya,” terang Ayep Zaki.

Masih kata Ayep Zaki, untuk mencapai keberhasilan budidaya kedelai, dibutuhkan instrumen pemerintah sebagai pemegang regulasi yang sesungguhnya sudah mendukung. Hanya saja pada instrumen perbankan yang kadang kala masih banyak pertimbangan.

“Jika perbankan diminta untuk memilih pembiayaan budidaya kedelai mandiri dengan membiayai Usaha Kecil Menengan (UKM) di bidang lainnya, perbankan tentu akan lebih memilih UKM tersebut. Nah, ini memang perlu sinergitas antara bank selaku regulator pembiayaan. Karena mau tidak mau bank memang harus terlibat dalam hal ini,” paparnya.

Ayep menegaskan, budidaya kedelai mandiri harus direspon positif. Karena menurutnya, budidaya kedelai mandiri adalah jalan keluar urusan kedelai nasional.

“Indonesia melalui Balai Benih Kementerian Pertanian, sudah bisa membuat varietas unggul baru (vub) bibit kedelai sampai 3,5 ton per hektar, berupa biosoy 2 dengan teknologi pupuk batubara. Tapi kita harus memulai dengan sistem TOT karena sistem TOT adalah cara yang paling efektif dalam budidaya kedelai,” pungkas dia.

(WH)

Add Comment