a

RUU Masyarakat Hukum Adat Rawat Kekayaan Budaya

RUU Masyarakat Hukum Adat Rawat Kekayaan Budaya

JAKARTA (23 November): Problem utama belum disahkannya RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah adanya narasi negatif yang selalu mendiskreditkan RUU MHA. Yang menjadi momok dan ketakutan adalah selalu dikaitkan dengan pembangunan, investasi dan korporasi-korporasi besar.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU MHA, Willy Aditya dalam diskusi Forum Legislasi yang mengambil tajuk ‘Urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat’ di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/11).

Willy menjelaskan, RUU MHA sudah menempuh perjalanan panjang sejak pertama kali diusulkan Fraksi Partai NasDem DPR RI periode 2014-2019 dan diusulkan kembali pada DPR RI periode 2019-2024 sekarang ini.

“Periode 2019-2024, menjadi inisiatif Partai NasDem lagi dan sudah pleno di Baleg (Badan Legislasi) pada 4 September 2020, dan sampai sekarang 21 November 2021 tidak pernah diparipurnakan. Kalau mau jujur, kendala utamanya adalah political will. Itu yang menjadi kendala, baik di Medan Merdeka (pemerintah) ataupun di Senayan (DPR),” kata Legislator Partai NasDem itu.

Wakil Ketua Baleg DPR itu menjelaskan, di dalam RUU MHA tidak hanya mengatur hak atas tanah, hak atas sumber daya alam dan hak atas hukum adat. Namun juga mengatur beberapa kedaulatan seperti hak untuk menjalankan kepercayaan.

“Dua bahasa daerah kita secara gradual hilang setiap tahun. Kita kan punya setidak-tidaknya 171 bahasa, karena proses penggunaannya tidak pernah dikonservasi, tidak pernah ada kebijakan untuk melindungi itu dan tidak juga pernah digunakan,” ujarnya.

Willy yang juga Wakil Ketua Fraksi NasDem DPR RI itu menegaskan bahwa mengesahkan RUU MHA bertujuan merawat kekayaan budaya yang menjadi modal dasar ke-Indonesiaan.

“Kita konsen terhadap akar-akar keindonesiaan. Disanalah (UU MHA) memberikan pengakuan kepada masyarakat hukum adat. Sekarang ini sosial budaya kita semakin terkikis. Akhirnya kita sadar betapa pentingnya hak-hak masyarakat adat itu,” terangnya.

RUU MHA, tambah Willy, bisa mencegah pencaplokan wilayah adat untuk proyek atau korporasi yang selama ini sering terjadi.

“Kita bangun sebuah pendekatan yang benar-benar merawat, menjaga, memelihara. Ini sebagai modal Republik. Itu hal yang fundamental dari kehadiran undang-undang ini,” tandas Legislator NasDem dari Dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Sampang) itu.

Terkait isu pertentangan antara RUU MHA dengan pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah, Willy mengatakan dua isu itu bisa berjalan beriringan.

“Proses pembangunan akan mengorbankan hal-hal lain, seperti sosial budaya yang semakin terkikis. Sampai kapan ini akan berlanjut kalau kemudian political will ini belum ada titik temu antara pemerintah dengan Senayan, sementara proses pembangunan terus berlangsung. Sampai kapan ini jadi harapan masyarakat akan disahkan di DPR?,” pungkasnya.

(Dis/*)

Add Comment