a

Ingin Gagalkan RUU PKS tidak Punya Hati Nurani

Ingin Gagalkan RUU PKS tidak Punya Hati Nurani

JAKARTA (13 Juli): Salah satu wujud pelanggaran hak asasi manusia yang tidak boleh luput dari perhatian masyarakat adalah kekerasan seksual. Beberapa negara telah berkomitmen melalui berbagai kebijakan dan atau regulasinya dalam menanggulangi dan mengentaskan akar permasalahan kekerasan seksual. Namun di Indonesia justru ada upaya pihak-pihak tertentu yang ingin menggagalkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

"Padahal, angka kekerasan seksual setiap tahunnya terus meningkat.  Menurut catatan Komnas Perempuan, dari tahun 2008 hingga 2020 meningkat 700 persen adalah korban perempuan dewasa," ungkap Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai NasDem, Amelia Anggraini dalam keterangan tertulisnya, Selasa (13/7).

Melihat angka kekerasan seksual yang demikian tinggi, tambah Amel, jika masih ada pihak yang ingin menggagalkan RUU PKS, sepertinya tidak memiliki rasa kemanusiaan dan hati nurani.

"Yang harus kita ketahui bersama juga adalah, kekerasan seksual ini seiring waktu berjalan, mulai merambah secara sporadis ke berbagai kalangan. Bukan hanya menimpa kaum perempuan, namun kaum pria pun tak terbebas begitu saja dari kekerasan seksual," papar Amel.

Anggota DPR RI periode 2014-2019 itu mengungkapkan, siapapun bisa menjadi korban kekerasan seksual. Baik anak-anak, remaja, orang dewasa bahkan orang tua. Pelaku kekerasan seksual dapat orang asing, orang yang menjadi kepercayaan korban bahkan anggota keluarganya sekalipun. 

"Kekerasan seksual memiliki ragam bentuk mulai dari pemerkosaan, hubungan inses atau sedarah, kekerasan seksual dengan anak di bawah umur, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, memperlihatkan bagian tubuh genital atau ketelanjangan pada orang lain. Dari sudah sangat beragam," tegasnya. 

Sebab itu, tegas Amel, negara harus hadir dalam hal ini. Wujud paling konkretnya adalah dengan melahirkan sebuah UU.

"Saat ini Indonesia sangat membutuhkan UU Perlindungan Kekerasan Seksual," tukas Amel.

Dikatakan, sepanjang 2008-2020 Komnas Perempuan telah mengeluarkan catatan merah terkait tingginya eskalasi korban kekerasan seksual di Indonesia. Berdasarkan catatannya, peningkatan jumlah korban kekerasan seksual pada perempuan dewasa meningkat lebih dari 700%, korban anak perempuan meningkat 65%, korban pelecehan seksual secara online naik 300%, dalam kurun 1 (satu) tahun dari 2019-2020. 

Sedangkan berdasarkan data Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak menemukan fakta bahwa selama pandemi Covid-19, lonjakan kasus kekerasan seksual berbasis online juga meningkat. 

"Ini adalah fenomena baru. Masih banyak korban yang belum bersedia melapor walaupun memang sudah ada korban yang melapor atau orang lain yang melaporkan. Artinya, masih banyak korban yang tersembunyi yang tidak melaporkan dirinya dan telah menjadi korban kekerasan seksual," terang Amel.

Diakui, permasalahan kekerasan seksual masih menjadi fenomena gunung es di Indonesia. Ini adalah bukti bahwa alarm krisis kekerasan pada perempuan Indonesia telah berbunyi.

"Maka yang bisa kita lakukan sebagai upaya terakhir adalah menghadirkan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual," jelas Amelia. 

Saat ini RUU PKS telah masuk kembali pada Prolegnas 2021. Sebagai elemen bangsa yang gandrung terhadap keadilan dan kesetaraan atas perempuan, maka diharapkan semua pihak harus betul-betul mengawal RUU itu agar segera disahkan parlemen. 

"Kita percaya dan punya harapan besar bahwa parlemen Indonesia proterhadap perempuan," pungkas Amelia.(RO/*)

Add Comment