a

Mimpi Mewujudkan Margokerto Sebagai Tempat Wisata Rohani

Mimpi Mewujudkan Margokerto Sebagai Tempat Wisata Rohani

Penulis: Gantyo Koespradono 

MENGUNJUNGI Dapil Jawa Tengah 2 (Demak, Kudus dan Jepara), pekan lalu (10-15 Desember), saya berkesempatan menghadiri perayaan Natal di beberapa tempat di Dukuh Margokerto, Desa Bondo, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara.

Di acara itu, saya diberi kesempatan oleh tokoh gereja di sana (Gereja Injili di Tanah Jawa-GITJ) Margokerto untuk memperkenalkan diri tentang sosok saya sebagai calon anggota DPR-RI dari Partai NasDem yang kebetulan dipercaya mewakili Dapil 2.

Terus terang saya agak kikuk diperkenalkan dalam forum kegiatan peribadahan meskipun perayaan Natal itu diselenggarakan di rumah warga gereja. 

Tahu diri, diberi kesempatan semacam itu, saya tentu tidak berkampanye "pilihlah saya caleg NasDem nomor urut 7", melainkan minta dukungan, dan terutama doa restu, sekaligus "kulo nuwun", ada seorang kristiani yang dipercaya oleh sebuah partai untuk menjadi anggota DPR-RI.

Sampai sedemikian jauh, saya belum menemukan dari sumber resmi berapa jumlah penduduk Margokerto. Yang pasti mayoritas penduduknya beragama Kristen. Ini bisa dibuktikan dengan banyaknya bangunan gereja di sana. Mirip dengan masjid di Jabodetabek, tersebar di mana-mana.

Hampir semua warga Kristen di dukuh itu memasang pohon natal di ruang tamu dan memutar lagu-lagu natal dengan suara lumayan keras.

Dalam satu malam, saya pernah menghadiri dua kegiatan natalan di Margokerto yang diselenggarakan di rumah warga. Pengeras suara berukuran besar dengan suara yang pasti keras cukup memekakkan telinga.

Di dua tempat saya mendengarkan khotbah natal yang dibawakan Pdt Em Soewarno. Dalam khotbahnya ia mengingatkan jemaat agar meneladani Maria dan Yusuf yang mengikuti kehendak Tuhan.

Di rumah warga lain keesokan harinya saya mendengarkan khotbah yang disampaikan Pendeta GITJ Margokerto Pdt Yohanes Triyanto Nur Wibowo.

Ada yang menarik dari apa yang dikhotbahkan Triyanto. Selain mengajak jemaatnya untuk terus menerus menyegarkan iman dan aktivitas kerohaniannya, ia juga mengajak jemaat GITJ Margokerto untuk membangun dan memajukan Dukuh Margokerto.

Konkretnya, Pdt Triyanto mengajak jemaat gerejanya agar menjadikan Margokerto sebagai tempat wisata rohani. "Ini mimpi lama saya yang sampai sekarang belum terwujud," kata Triyanto kepada saya.

Menurut Triyanto, Margokerto sudah punya modal sebagai tempat kunjungan wisata rohani. Dia menyebut, warga dukuh ini menjunjung tinggi toleransi. Umat Kristen yang mayoritas menghormati saudara-saudaranya yang muslim. Demikian pula sebaliknya.

Informasi yang saya peroleh, jika umat Kristen di Margokerto sedang membangun gereja, umat Islam di sekitarnya menyumbang bahan bangunan. Jika tetangganya yang muslim membangun masjid, umat kristiani di dukuh ini mengumpulkan uang untuk menyumbang semen.

Namun, modal sosial seperti itu, menurut Triyanto, belum cukup. Kehidupan kerohanian warga jemaat, khususnya di GITJ Margokerto, harus dibangun.

Triyanto membayangkan betapa indahnya suasana surgawi jika semua keluarga Kristen di Margokerto setiap pagi melakukan doa bersama dan diikuti dengan menyanyi (memuji-muji) Tuhan.

Tak hanya memuji Tuhan, jemaat GITJ Margokerto diharapkan juga mau mengaplikasikan firman Tuhan dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari, terutama dalam menjalin relasi sosial dengan tetangga.

Jika suasana "surgawi" itu bisa terwujud, menurut saya, bukan tidak mungkin, Dukuh Margokerto akan menjadi tempat wisata rohani yang menyenangkan layaknya Bali atau Toraja.

Wisata rohani itu semakin lengkap, sebab tidak jauh dari Margokerto ada makam Tunggul Wulung, tokoh yang berdasarkan catatan sejarah, cikal bakal tersebarnya agama Kristen di kalangan orang-orang Jawa.

JD Wolterbeek dalam bukunya yang berjudul "Babad Zending ing Tanah Jawi" menggambarkan sosok Tunggul Wulung sebagai seorang petapa di Gunung Kelud yang kemudian melakukan pekabaran Injil hingga ke Jawa Timur.

Informasi lain sebagaimana dicatat oleh Dr Th van den End menyebutkan bahwa Tunggul Wulung berasal dari daerah Juwono (dekat Gunung Muria) dan bernama asli Kiai Ngabdullah. Akibat keadaan ekonomi yang sulit di daerah tersebut, maka Ngabdullah berpindah dan menjadi seorang petapa di lereng Gunung Kelud.

Kehidupan bergereja di GITJ Margokerto juga tergolong unik. Meski sudah terbiasa mengadopsi ibadah secara modern, gereja ini masih menggunakan dan melestarikan kidung bahasa Jawa yang populer sebelum saya lahir.

 

Saat memperingati Paskah (kebangkitan Yesus Kristus), ribuan jemaat GITJ Margokerto selalu menggelar pawai subuh suci. Dengan membawa obor sebagai penerang dan lampion warna-warni, mereka berkeliling kampung sambil melantunkan puji-pujian.

Lazimnya, kegiatan dimulai pada pukul 04.00. Tidak hanya para orang tua, anak-anak berkumpul di depan gedung GITJ Margokerto. Suasana sakral begitu terasa, saat ratusan lampion, lilin dan juga obor dinyalakan dan mengiringi langkah mereka untuk melakukan pawai subuh suci.

Setahun dua kali, jemaat gereja itu juga mengadakan perayaan unduh-unduh sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan karena jemaat yang sebagian besar petani sukses melakukan panen.

Dalam perayaan unduh-unduh itu, mereka mengumpulkan hasil panen seperti buah-buahan dan beras. Tak cuma itu, ada pula jemaat yang memberikan uang karena anak sapi peliharaannya lahir dengan selamat.

Keunikan-keunikan seperti itulah yang sebenarnya bisa dijadikan modal bagi umat kristiani di sini untuk menjadikan Dukuh Margokerto sebagai tempat wisata rohani.

Di luar itu, Margokerto dan sekitarnya, khususnya di Desa Bondo punya objek wisata berupa pantai dan "hutan". Menuju Desa Bondo dari Kota Jepara naik kendaraan roda empat, hanya memutuhkan waktu sekitar 30 menit. Pantainya lumayan eksotis. Airnya jernih. Margokerto juga punya Telaga Sejuta Akar.

Namun sayang, objek-objek wisata di sana belum dikelola dengan baik. Padahal jika ditata dengan baik, sangat mungkin bisa meningkatkan perekonomian warga. 

Warga Margokerto yang hampir semuanya sudah punya rumah sendiri — dibangun di atas lahan yang lumayan luas — itu bisa memfungsikan sebagai home stay buat para wisatawan.

Saya tentunya mengapresiasi apa yang digagas dan diimpikan Pdt Yohanes Triyanto. Jika mimpinya terwujud, boleh jadi banyak wisatawan asing, terutama dari Eropa yang akan berkunjung ke Margokerto guna melihat kekristenan sosial yang sudah menjadi barang langka di Eropa.

Tentu menjadi kewajiban saya untuk membantu mewujudkan mimpi indah sang pendeta dan jemaat GITJ Margokerto jika saya terpilih menjadi anggota legislatif di DPR.[]

Penulis adalah dosen, mantan wartawan dan caleg Partai NasDem di Dapil Jateng 2 Nomor urut 7.

Add Comment