a

NasDem dan Cara Modern Memilih Kandidat Politik

NasDem dan Cara Modern Memilih Kandidat Politik

Oleh: Henri Siagian*

Pemilihan PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) 2018 sudah terlaksana relatif mulus. Kompetisi antarkandidat beserta partai politik pengusung di daerah tinggal memasuki tahap pengesahan.

Dari 17 pilkada tingkat provinsi, 11 calon yang diusung Partai NasDem memenangi pemilihan, disusul PAN di 10 provinsi, serta Hanura dan Golkar di sembilan provinsi.

Bagi sejumlah lembaga riset, tidak ada keterkaitan antara pilihan kandidat di pilkada dan parpol (parpol). Sehingga, bisa saja pemilih kandidat A di suatu daerah akan memilih parpol yang tidak termasuk dalam pengusung kandidat A.

Kekuatan figur dalam dunia politik bagi pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani, adalah yang utama. "Faktor utama yang berpengaruh terhadap pilihan masyarakat itu adalah persepsi atas kualitas persona calon atau tokoh. Partai yang punya tokoh yang dipersepsikan berkualitas akan mendapat suara lebih banyak," ujar Saiful, Media Indonesia (22/7).

Dalam kesempatan berbeda, survei SMRC menunjukkan hanya sekitar 11% warga yang mengakui memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu (party identification/Party-ID). Dan berdasarkan riset pada 7-13 Desember 2017, pemilih PDIP diprediksi terdongkrak karena identifikasi Joko Widodo (Jokowi) dengan PDIP.

Bahkan, riset itu menyimulasikan pengaruh sosok Jokowi bila menjadi calon presiden (capres) dari Partai Golkar dan disandingkan dengan Idrus Marham dan Airlangga Hartanto. Hasilnya, sosok Jokowi diprediksi bisa mendongkrak perolehan suara partai berlambang beringin itu. Sedangkan bila Golkar mengusung dua kadernya sendiri, Idrus dan Airlangga, sebagai capres justru akan menurunkan pilihan terhadap partai.

Adapun menurut peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Rully Akbar, pilkada adalah pertarungan figur. Dan Rully mengistilahkan, kemenangan partai menengah di pilkada lebih disebabkan kejelian dalam melihat calon potensial yang didukung masyarakat.

Berdasarkan pendekatan yang ditawarkan Jennifer Lees-Marshment (2010), tiga tahapan pemasaran politik adalah product-oriented party (POP), sales-oriented party (SOP), dan market-oriented party (MOP).

Model POP hadir tanpa awareness, utilisasi teknik komunikasi, serta intelijen pasar. Partai berorientasi produk ini akan mempertahankan apa yang mereka telah percayai.

Model SOP bertujuan untuk menjual apa yang telah mereka putuskan sebagai yang terbaik bagi publik dengan menggunakan teknik komunikasi pemasaran yang efektif. Intelijen pasar digunakan bukan untuk menginformasikan desain produk, melainkan untuk membantu partai untuk meyakinkan pemilih kalau yang telah diputuskan oleh partai telah benar. Proses SOP adalah desain produk, intelijen pasar, komunikasi, kampanye, pemilihan, dan delivery (partai memberikan produk sebagaimana yang dijanjikan).

Sedangkan pada model MOP, riset pasar dilakukan di awal. Dalam model ini, sejumlah alat digunakan untuk memahami dan merespons keinginan pemilih selaku konsumen, mengintegrasikan ide politisi dan pakar, serta mempertimbangkan realitas politik.

Pemasaran politik digunakan untuk memahami publik ketimbang memanipulasi sebagaimana pada model SOP. Ada sembilan tahapan dalam orientasi ini, yakni market intelligence, desain produk, penyesuaian produk, implementasi perubahan, komunikasi, kampanye, pemilihan, delivery, dan mempertahankan orientasi pasar.

Jauh-jauh hari, tepatnya pada 19 Maret 2017, Partai NasDem telah mengusung Ridwan Kamil sebagai calon gubernur Jawa Barat (Jabar). Pemilihan Ridwan Kamil atau yang biasa disapa Kang Emil, yang kemudian berpasangan dengan Bupati Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum, menjadi calon gubernur terpilih Jabar, dilakukan tanpa mahar politik dan lebih melihat rekam jejak serta elektabilitasnya.

"Pilihan NasDem berdasarkan penilaian panjang terkait dengan elektabilitas, popularitas, dan integritas," kata Ketua DPW Partai NasDem Jawa Barat Saan Mustopa (Media Indonesia, 13/3/2017).

Adapun Ketua Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh mensyaratkan tiga hal terhadap Emil. Pertama, menjadikan Jabar sebagai benteng Pancasila yang melindungi seluruh warga masyarakat Jabar. Kedua, ketika memenangi pilkada, Emil harus menjadi milik masyarakat Jabar dan seluruh parpol. Sehingga, Surya meminta Emil tidak bergabung dengan partai mana pun, termasuk Partai NasDem agar terbebas dari intervensi politik dan golongan. Syarat ketiga, Ridwan Kamil harus mampu mengonsolidasikan roda pemerintahan. (Media Indonesia, 20/3/2017)

Dengan kata lain, syarat yang diberikan terhadap Emil adalah klausul yang membebaskan. Emil dicegah disandera oleh parpol, termasuk oleh NasDem sekalipun.

Mengacu pilkada Jabar, Partai NasDem mengawali dengan riset pasar. Di mana, NasDem meneliti sosok Emil dari tingkat penerimaan publik yang diukur dari sisi popularitas hingga elektabilitas.

Sehingga, dalam pemilihan kepala daerah, NasDem menyesuaikan dengan keinginan publik Jabar, bukan sekadar memaksakan keputusan mereka agar diterima publik. Karena, dalam rezim pemilihan langsung, publik menjadi penentu.

Dan dalam beragam kesempatan bertemu dengan publik, Emil banyak berupaya memahami serta merespons keinginan warga. Seperti saat berada di Indramayu, Emil menawarkan solusi pembelian langsung beras asal Indramayu. Selain itu, berbekal keahliannya dalam hal pemasaran, Emil juga memaparkan sejumlah upaya dalam mengatasi kendala petani rumput laut dalam menjual produk mereka. Seperti, persoalan perbaikan kemasan produk dan akses dalam pemasaran.

Pemasaran politik terhadap sosok Emil tidak sekadar dengan meyakinkan pemilih kalau keputusan partai sebagai hal yang benar. Emil — sebagai produk dalam pemasaran politik — menyesuaikan diri dengan asa publik. Bukan sekadar menawarkan janji kosong yang nyaring. Melainkan memberi harapan bagi warga berbekal kemampuan, pengetahuan, dan jaringan yang Emil miliki.

NasDem telah menanggalkan pendekatan POP yang merupakan perilaku partai yang paling tradisional, dan lebih menggunakan pendekatan MOP yang lebih kompleks dan modern. Sebuah pendekatan yang lebih menjawab keinginan publik selaku konsumen dalam pemasaran politik.(*)

*Henri Siagian, Wartawan Media Indonesia      

Add Comment