a

Willy Aditya, Matang Bersama Rakyat

Willy Aditya, Matang Bersama Rakyat

SEPERTI anak-anak desa pada umumnya, Willy Aditya kecil ikut mandi berhujan-hujanan, belajar mengaji dan bermain bola.

Willy
lahir di Solok, 12 April 1978 di sebuah desa kecil di Sumatera Barat.
Ia tumbuh dalam suasana pedesaan yang asri dan harmonis.

Willy
menempuh pendidikan dasar dan menengah di Sumatera Barat, kemudian
menjadi mahasiswa undangan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 1997. 

Tahun
2005, Willy mendapat beasiswa untuk mengecap pendidikan di tanah
Parahyangan, program magister di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang
bekerja sama dengan Cranfield University, Inggris untuk program double
degree-nya.

Willy dikenal sebagai seorang
aktivis dan intelektual muda yang sarat pengalaman lapangan dan
organisasi. Ia merupakan sosok yang telah hidup dan belajar bersama
rakyat, dan mampu berkiprah dengan gagasan bernas di panggung politik.

Anak
dari pasangan Syamsuddin Lubis dan Asna Hasan ini sudah padat
pengalaman dalam memperjuangkan hak petani, buruh, kaum marjinal urban,
dan mahasiswa. 

Tahun 1998, sebagai pemimpin
aktivis mahasiswa, Willy menjadi bagian terdepan barisan mahasiswa
menggelorakan reformasi di Indonesia. Ia pun dipercaya sebagai Ketua
Dewan Mahasiswa UGM tahun 1999. 

Pada tahun
2003 ia menjadi pendiri Front Mahasiswa Nasional (FMN) dan menjadi Ketua
Umum FMN pertama. Organisasi mahasiswa ini memperjuangkan pendidikan
berkualitas yang mampu dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Tak
hanya di barisan perjuangan mahasiswa, Willy Aditya juga ikut bersama
petani melakukan advokasi dan pendampingan, bahkan menyuarakan aspirasi
bersama petani. Semasa masih mahasiswa di tahun 1998, ia bersama Romo
Mangunwijaya dan 1.500 orang petani se-Jateng dan Yogyakarta menyerukan
penolakan terhadap pestisida karena merusak tanah pertanian dan
mendukung pertanian organik.

Di tahun 1999-2002
ia juga aktif melakukan pendampingan petani dan hidup bersama petani
Wonosobo, Magelang, Prambanan, dan Pagilaran. Willy juga tak gentar
memimpin aksi petani Kulonprogo yang berkonflik tanah dengan Kodim
Kulonprogo di tahun 2000. 

Aktivitasnya di
Serikat Petani Pasundan (SPP), Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA), dan banyak kelompok serikat tani lainnya, membawanya juga
memimpin aksi 20.000 petani di Bundaran HI tahun 2003 yang tergabung
dalam AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria).

Willy
tak menanggalkan semangat dan gagasan demi perbaikan dan pengembangan
praktik berbangsa dan berpolitik yang selalu ia perjuangkan. Hal ini
pula yang mendorongnya mendirikan Sekolah Demokrasi Tangerang di tahun
2007. Sebuah sekolah yang ditujukan untuk kalangan praktisi politik,
mahasiswa, hingga pegawai negeri agar bisa berperan dalam proses
demokrasi di Indonesia, dan mampu mengawasi pemerintah dalam hal
kebijakan dan anggaran.

Fokus perjuangan Willy
tidak hanya berhenti di situ. Setelah ia lulus sebagai sarjana filsafat,
Willy mendirikan Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) dan menjabat sebagai
Sekretaris Jenderal di tahun 2004. Organisasi ini menghimpun buruh,
petani, pemuda, dan mahasiswa dari berbagai daerah, sebagai sebuah
kekuatan rakyat yang tetap terlupakan, pun setelah reformasi bergulir.

Selama
tahun, 2005 hingga 2006 ia tinggal di permukiman buruh di Tangerang dan
aktif mengorganisasi dan mengadvokasi buruh. Selain itu, ia juga aktif
dalam ABM (Aliansi Buruh Menggugat), pendiri KASBI (Kongres Aliansi
Serikat Buruh Indonesia) di tahun 2004, dan banyak terlibat dalam
aktivitas advokasi bagi buruh di Jawa.

Konsistensi
dan kegigihannya dalam berjuang bersama petani, buruh, dan mahasiswa
serta kepiawaiannya dalam berkomunikasi dengan gagasan yang bernas,
membuatnya dipercaya oleh Surya Paloh sebagai salah satu konseptor dan
deklarator Ormas Nasional Demokrat. Tak hanya itu, Willy juga menjabat
sebagai Ketua Umum Liga Mahasiswa NasDem, dan saat ini menjabat sebagai
Ketua DPP Partai NasDem Bidang Media dan Komunikasi Publik.

Selain
mendirikan Sekolah Demokrasi Tangerang, kecintaannya akan dunia
akademis dan kepeduliannya terhadap kualitas demokrasi di Indonesia, ia
wujudkan dengan mendirikan lembaga Populis Institute di tahun 2010.
Lembaga ini merupakan lembaga kajian politik dan kebijakan publik, dan
hingga kini ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif.

Willy
juga aktif menulis opini di harian nasional semenjak masih kuliah
hingga kini. Bahkan sudah menerbitkan dua buku yang berjudul Mari Bung
Rebut Kembali (kumpulan pidato Surya Paloh) tahun 2012, dan Indonesia di
Jalan Restorasi (Pemikiran Politik Surya Paloh) di tahun 2013.

[]

Add Comment