a

Menata Konstitusi Indonesia yang Berdaulat

Menata Konstitusi Indonesia yang Berdaulat

 

Oleh: Emmanuel Josafat Tular, S.IP, M.Si

Sebagai negara merdeka dan berdaulat sejak Proklamasi Kemerdekaan  17 Agustus 1945, Indonesia membutuhkan sistem hukum yang dapat menjamin keberlangsungan kehidupan bernegara dan berbangsa, serta bermasyarakat. Melalui Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), para pendiri bangsa waktu itu telah mempersiapkan hukum dasar yang akan menjadikan Indonesia merdeka.

Namun demikian, kemerdekaan Indonesia diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Ini dibuktikan dengan adanya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang melakukan penetapan dan pengesahan Undang-undang Dasar 1945, yang bertindak bukan lagi mengatasnamakan kolonial Jepang. Sehingga hukum dasar yang diajukan oleh BPUPKI mengalami perubahan secara substansi dan mendasar.

Undang-undang Dasar 1945 yang disahkan pasca kemerdekaan, mengalami perubahan dengan munculnya konstitusi baru yang bersifat sementara yaitu konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949, yang merupakan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, tanggal 27 Desember 1949. Konstitusi ini sangat dipengaruhi oleh pemerintah kolonial Belanda yang dicirikan dengan munculnya negara-negara bagian, seperti negara Sumatera Timur, negara Indonesia Timur, negara Pasundan, dan negara Jawa.

Namun Konstitusi RIS tidak bertahan lama. Bentuk negara federal Republik Indonesia Serikat pun pada akhirnya berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali. Perubahan ini juga diikuti dengan lahirnya konstitusi baru: Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 1950. Oleh karena sifatnya sementara, maka UUDS hanya bertahan hingga tahun 1959.

Badan Konstituante waktu itu, tidak mampu menjalankan tugasnya untuk membuat sebuah konstitusi pengganti UUD RIS. Beberapa faktor penyebabnya antara lain, terjadi perdebatan ideologi dasar negara. Setidaknya terdapat tiga kelompok yaitu kelompok nasionalisme sekular, kelompok Islam, dan kelompok komunis. Faktor lain yang memengaruhi gagalnya pembentukan konstitusi yang baru adalah munculnya keinginan pemerintah dan TNI untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Momentum ini ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Alhasil, Undang-undang Dasar 1945 telah melalui beberapa periode kepemimpinan. Di era Orde Lama, ujian terhadap pemberlakukan dan pelaksanaan UUD 1945 banyak mengalami kendala, termasuk adanya penggantian konstitusi.

Di era Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan dan negara didasarkan atas UUD 1945. Adapun di awal era Reformasi, tuntutan adanya perubahan atas Undang-undang Dasar 1945 menjadi bagian dari amanat reformasi, sehingga terjadi amandemen terhadap UUD 1945 selama empat kali.

Amandemen pertama ditetapkan pada 19 Oktober tahun 1999, yang berhasil mengamandemen sembilan pasal. Amandemen kedua ditetapkan pada 18 Agustus tahun 2000, yang berhasil mengamandemen dua puluh lima pasal. Adapun amandemen ketiga ditetapkan pada tanggal 9 November 1999, dengan dua puluh tiga pasal yang diamandemen. Sementara amandemen keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002, dan berhasil mengamandemen tiga belas pasal, tiga pasal aturan peralihan, serta dua pasal aturan tambahan.

Hasil dari amandemen ini, terjadi perubahan secara substansial di berbagai bentuk penyelenggaraan negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan memilih dan meminta pertanggungjawaban Presiden serta menyusun Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dicabut, sehingga posisi MPR sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Perubahan lain adalah kekuasaan pembentukan undang-undang yang tidak lagi dipegang oleh Presiden semata, akan tetapi juga oleh DPR. Tidak hanya itu, kewenangan Presiden dalam hal pengangkatan dan penerimaan duta negara lain serta pemberian amnesti dan abolisi, harus atas pertimbangan DPR.

Selain itu terdapat modifikasi ketentuan lembaga seperti reposisi MPR, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara demokratis oleh rakyat, ketentuan hak asasi manusia (HAM), serta usulan perubahan Undang-undang Dasar dan pembatasan perubahan atas negara kesatuan.

Pasca Amandemen ke empat, kini muncul keinginan untuk melakukan amandemen kembali UUD 1945, dengan argumentasi hendak menyempurnakan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia melalui konstitusi. Beberapa materi perubahan yang diopinikan oleh tokoh-tokoh masyarakat, pakar, dan politisi, yang sangat menonjol dan menjadi perhatian publik di antaranya adalah perubahan sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Selain itu ada keinginan agar calon ditampung dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, serta penguatan lembaga Dewan Perwakilan Daerah dan mengembalikan GBHN.

Perubahan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden, misalnya, disuarakan oleh Partai NasDem dengan gagasan electoral vote-nya. Gagasan ini menjadi antitesis dari praktik popular vote, seperti yang sudah berlangsung di tiga pilpres yang lalu. Dasarnya adalah memberi ruang yang lebih fair antara capres dari luar Jawa.

Adapun gagasan capres dan cawapres independen digagas oleh  kalangan masyarakat sipil seperti Fadjroel Rahman. Argumentasi yang disampaikan adalah, Undang-Undang Pemilu yang menetapkan partai sebagai satu-satunya kendaraan pencalonan, masyarakat dihadapkan pada keterbatasan pilihan untuk menemukan calon pemimpin yang berkualitas.

Di sisi lain, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terus melakukan sosialisasi perubahan kelima UUD 1945 yang bertujuan untuk  menumbuhkan semangat konsensus nasional mengenai perlunya penataan kembali terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Yang paling disoroti oleh DPD adalah lembaga perwakilan daerah ini seperti  tidak memiliki eksistensi. Padahal DPD lembaga yang legitimasinya cukup kuat karena anggotanya dipilih langsung melalui sistem pemilu distrik berwakil banyak atau suara yang terbanyak. Namun, legitimasi hasil pemilu legislatif di mana DPD disebut bagian dari Pemilihan Umum Legislatif itu tidak berjalan seiring dengan kewenangannya yang sangat minim. Hal ini karena dalam empat kali amandemen, DPD sama sekali tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan. DPD hanya memberikan masukan pertimbangan, usul, ataupun saran. Sedangkan yang berhak memutuskan adalah DPR. Sehingga keberadaan DPD tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti lazim.

Sementara gagasan untuk menghidupkan kembali GBHN diangkat oleh beberapa lembaga seperti DPD, DPR, dan beberapa partai politik. Usul ini bisa dilakukan lewat amandemen ke lima terhadap UUD 1945. Dasar pemikirannya adalah karena GBHN adalah visi seluruh lembaga negara. Posisinya jauh lebih tinggi dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menjadi visi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang kemudian dijadikan visi bangsa Indonesia dalam menjalankan Pemerintahan.

Sejak masa pemerintahan Presiden SBY, rencana pembangunan nasional ditentukan melalui UU dan RPJP Nasional di mana rencana pembangunan lima tahunan (RPJM) ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres). Konsekuensinya, bila kinerja pemerintah tidak sesuai dengan rencana pembangunan, maka tidak ada sanksi yuridis yang jelas karena secara politis RPJM Nasional merupakan kebijakan presiden dan wapres terpilih. Oleh karena itu GBHN dinilai lebih kuat landasan hukumnya dibanding dengan RPJP Nasional.

Di atas semua itu, amandemen merupakan bagian dari penataan terhadap konstitusi, sehingga diperlukan pemahaman tentang kaidah-kaidah ketatanegaraan untuk melakukan penataan terhadap konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia  dengan pemahaman konstitusi yang dapat dimengerti sebagaimana para ahli konstitusi membuat rumusan berdasarkan pemikiran mereka sesuai cara pandangnya masing-masing.

Perubahan-perubahan UUD 1945, dan Konstitusi Negara Indonesia sepanjang sejarah berdirinya Negara Republik Indonesia telah membawa Indonesia pada demokrasi yang lebih terbuka dan bebas, namun bertanggungjawab. Pelaksanaan konstitusi semakin diawasi oleh masyarakat Indonesia sendiri, dan sekaligus sebagai pelaku dan pelaksana dari Konstitusi. Konsekuensinya, negara dan rakyat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai penentu penataan konstitusi negara yang semakin berdaulat.

Kedaulatan rakyat dan negara akan ditentukan oleh sistem hukum negara Indonesia yang disusun berdasarkan hukum tata negara Indonesia. Struktur dan fungsi dalam sistem pemerintahan akan ditentukan oleh  oleh UUD 1945 sebagaimana telah dijelaskan bahwa UUD ialah hukum dasar yang tertulis. Selain hukum dasar tertulis juga  berlaku hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Sehingga UUD 1945 menjadi sumber hukum tertulis, setelah dasar negara Pancasila. Maka dalam melakukan penataan konstitusi tetap harus mengacu pada Pancasila sebagai dasar negara, serta dalam membentuk peraturan perundang-undangan tetap mendasarkan pada hukum dasar tertulis UUD 1945. Pelaksanaan pasal demi pasal dalam UUD 1945 akan diuji dalam setiap penyelenggaraan negara pada praktek pelaksanaan UUD 1945. Dengan demikian penataan konstitusi yang berdaulat sangat ditentukan oleh praktek pelaksanaan dari konstitusi negara UUD 1945.

*Penulis adalah Tenaga Ahli Fraksi Partai NasDem, fokus di isu-isu Komisi II

 

Add Comment